Telusuri Lainnya

Penguatan DPD, Solusi Meredam Kekuasaan Absolut DPR



Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan sebuah lembaga yang diisi oleh dua kekuatan besar yaitu DPR dan DPD yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Namun, secara substansial kedua lembaga tersebut memiliki kedudukan yang berbeda. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga yang kedudukanya paling dominan dalam sistem ketatanegaraan di indonesia. Sementara, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki peran sangat lemah meski memiliki kedudukan yang berdampingan dengan kedudukan DPR. Padahal, bila dikaji dari segi pendalaman keterwakilan maka sudah sangat jelas bahwa DPR diusung dari partai politik dan DPD diusung dari perwakilan setiap daerah.
Dalam ketentuan UUD NRI 1945 hasil amandemen, DPD seakan-akan merupakan suatu lembaga yang mandiri serta memiliki kewenangan sendiri. Namun, pasal 22D ayat 2, hanya disebutkan bahwa DPD dapat mengajukan UU kepada DPR. Kemudian, pada pasal 22D ayat 3 disebutkan DPD dapat melakukan pengawasan pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah dan lain-lain serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti. DPD hanya berwenang mengajukan dan membahas rancangan UU di bidang tertentu saja. 
Hal demikianlah yang menjerumuskan DPD sebagai keterwakilan masyarakat menjadi stagnan dan seolah-olah menjadikan DPR sebagi satu-satunya lembaga yang meiliki original power padahal tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini DPR belum bisa menjadi suatu lembaga yang menjamin terwujudnya aspirasi masyarakat. Justru DPR hanya sebagai lembaga tontonan di televisi yang menjerat beberapa dari oknum-oknumya. 
Jika ditelaah banyak sekali kesewenangan-wenangan fungsi legislasi terhadap kepentingannya dalam proses pembuatann UU. Sebagai contoh nyata pada awal tahun 2018, DPR merancang perubahan beberapa pasal dalam UU yang dinilai beberapa kalangan bahwa perubahan tersebut inkonstitusional dengan UUD 1945 baik secara formil maupun secara materil yakni Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). 
Ketua Litigasi DPD RI, I Wayan Sudirta mengabarkan DPD tidak diikutsertakan dalam pembuatan perubahan UU MD3 padahal UU tersebut juga mencangkup urusan mengenai lembaga DPD. MD3 menjadi jalur masuk saratnya kekuasaan DPR dan menyurutnya kekuasaan DPD , karna akan percuma bila wakil aspirasi masyarakat daerah tersebut ikut bersuara dalam pembahasan rancangan UU tetapi hasil akhir tetap ada pada tangan DPR, DPR seolah-olah merenggut pembagian harta DPD yakni ikut serta mengesahkan UU sebagai bagian dari fungsi legislasi. 
Oleh karena itu perlu adanya penyeimbang lembaga DPR agar bisa mewujudkan prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan di indonesia khususnya dalam proses legislasi. 
Penguatan lembaga yang lahir pada amandemen ke-3 UUD NRI 1945 tersebut diharapkan mampu menghadirkan keikutsertaan daerah dalam pengambilan keputusan terhadap jalannya praktik sistem ketatanegaraan indonesia melalui keputusan politik pengelolaan negara seperti pengesahan pembuatan UU. Agar UU tidak hanya dicap sebagai produk partai politik, tapi juga memasukkan unsur kepentingan masyarakat, khususnya daerah di dalamnya. 
Lord Acton mengatakan “power tend to corrupt absolut power corrupt absolutely” kekuasaan cenderung disalahgunakan oleh mereka yang  memiliki kekuasaan yang besar. Kekuasaan tersebut perlu mendapat pengawasan agar tidak disalahgunakan serta tidak dijadikan dasar untuk menjadikanya sebagai kekuasaan absolut yang bertindak untuk kepentingan politik maupun pribadi. Rakyat hari ini menginginkan aspirasinya didengar dan direalitaskan bukan hanya dijadikan angan yang diiming-imingi bagai angin lalu saat kampanye.***

Sumber foto aktual.co

Oleh Patma (Mahasiswi Ilmu Hukum, Universitas Maritim Raja Ali Haji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar