Oleh
Rilo Pambudi. S
(Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Maritim Raja Ali Haji)
Hukum sejatinya adalah seperangkat aturan untuk mengatur tingkah laku masyarakat. Hukum juga merupakan tonggak dari ketertiban, ketentraman, dan keadilan sehingga peranannya menjadi sangat krusial. Hukum dikatakan demikian ketika mampu dilaksanakan tanpa tebang pilih, tanpa mengenal siapa, dan tidak diskriminatif kepada si dia yang tak berpunya atau memihak kepada si dia yang berpunya.
Seorang filsuf Inggris, Jeremy Bentham pernah bekata "the aim of law is the greatest happines for the greatest number". Hakikatnya hukum itu untuk kebahagiaan sebanyak-banyaknya orang. Sehingga untuk tercapai tujuan tersebut maka perlu peran pengadilan, penegak hukum, dan sarana. Lebih jelas Lawrence M. Friedman dalam bukunya Law and Society mengatakan efektivitas suatu peraturan perundang-undangan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan kultur (budaya hukum masyarakat).
Namun menjadi pertanyaan besar ketika kita melihat pada realitas hari ini. Hukum cenderung melihat siapa yang diadili. Hukum menjadi tumpul kepada kaum atasan tetapi sangat mudahnya menjangkau kaum bawahan. Kondisi ini seakan mempertegas hipotesa Prof. Soerjono Soekanto dalam bukunya Pokok-Pokok Sosiologi Hukum yang menyebutkan:
"Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya. Sebaliknya semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya"
Tidaklah berlebihan ketika dikatakan demikian, begitu banyak fakta hari ini yang memperlihatkan ketidakadilan hukum dalam memandang siapa yang dihukum. Ibu Minah contohnya, terkait kasus pencurian tiga buah Kakao pada Bulan November 2009 lalu, dihukum 1 bulan 15 hari kurungan. Hukuman ini tidaklah adil bila dibandingkan dengan harga Kakao tersebut di pasaran yang hanya seharga Rp 2.100,00. Kasus lain, si pencuri sandal pada 2012 lalu divonis penjara 5 tahun tidak sebanding dengan harganya yang hanya 30 ribu.
Hukum semakin tak realistis dan responsif apabila merujuk pada putusan hakim terhadap pelaku korupsi. Data dari Indonesia Corruption Wacth (ICW), sepanjang 2005 hingga 2009 terdapat 240 terdakwa yang divonis dengan rata-rata dihukum 3 tahun 6 bulan. Padahal, ratusan bahkan milyaran uang negara masuk kantong pribadi. Sebut saja M. Nazaruddin eks anggota DPR yang hanya dipidana 4 tahun 10 bulan dan denda 200 juta atas kasus penggelapan uang mencapai milyaran rupiah.
Apa yang salah dengan hukum di Indonesia? Jika dikatakan penegak hukumya, tidak lah tepat kiranya. Contoh saja belum lama ini, yang terhormat sang wakil rakyat yakni DPR yang memegang kekuasaan legislatif, membuat aturan yang kontroversi hingga disebut anti hukum, kebal hukum, dan anti kritik. Bagaimana mungkin wakil rakyat menjauhkan diri dari rakyatnya dengan membatasi kontrol oleh rakyat melalui kritik tersebut? Sungguh sulit untuk disimpulkan, hukum yang katanya untuk mencapai keadilan tetapi kepada siapa tujuan itu diarahkan. Tidakkah bisa penegakan hukum tanpa membeda-bedakan? Mungkin inilah yang disebut negara aturan milik para tuan.
Perlunya Keadilan Restoratif
Indonesia berdiri atas konsep musyawarah mufakat. Untuk itu dalam penyelesaian perkara perlu pula mengedepankan konsep tersebut atau yang disebut keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah sistem peradilan pidana yang menitikberatkan pada penyelesaian perkara secara musyawarah antara pelaku dan korban sehingga timbul konsensus mengenai solusi terbaik dalam menyelesaikan konflik.
Sejauh ini, Mahkamah Agung telah mencoba menerapkan hal itu dengan keluarnya Perma Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Perma ini sekaligus membuktikan bahwa hukum Indonesia tidak sepenuhnya kaku. Dalam Perma disebutkan setiap pencurian dengan nominal di bawah 2,5 juta termasuk kategori Pasal 364 KUHP yakni tentang pencurian, di mana sebelumnya termasuk Pasal 362 tentang pencurian biasa dengan pidana maksimal 5 tahun.
Meski begitu, semua itu belumlah dirasa cukup karena bagimanapun keadilan harus diwujudkan dalam hal apapun dan terhadap siapapun, bukan hanya pada kasus pencurian. Sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip persamaan di hadapan pemerintahan dan hukum, keadilan restoratif semestinya menjadi konsekuensi logis yang harus dipertahankan dan dilaksanakan. Tujuan pokoknya jelas yakni menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat bukan hanya pada mereka yang punya daulat. Hukum harus menjadi obat dalam mewujudkan kedaulatan rakyat.
Tentunya hakim dalam hal ini yang memegang peranan paling krusial, karena oleh merakalah akhirnya keadilan ditegakkan. Sang wakil tuhan yang memegang tanggung jawab besar dalam menjatuhkan putusan. Mereka juga yang akan menjawab kemana keadilan pada hukum itu ditujukan.
Sumber:- Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP.
Panutan ��
BalasHapusTerus berkarya, jangan berhenti menulis. Dengan menulis kita akan selalu berbagi dengan sesama
Hapus