Telusuri Lainnya

Kecatatan UUD Keluarga Mahasiswa (KM) UMRAH

Referensi sumber ketiga
Seakan mengingatkan kita pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, di mana UUD 1945 pertama hanya menjadi tonggak awal yang melandasi berdirinya negara Republik Indonesia sehingga Ir. Soekarno mengatakan sebagai Konstitusi kilat yang harus segera dibenahi di kemudian hari. Begitu halnya dalam kehidupan berorganisasi internal kampus UMRAH. UUD Keluarga Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji yang ditetapkan pada 13 Januari 2017 lalu sebagai payung hukum pemerintahan negara ala mahasiswa banyak mengandung kecacatan untuk dikatakan sebagai sebuah konstitusi. Sebagai aturan pokok kehidupan bernegaranya mahasiswa tetapi terkesan sebagai “Kamus Bahasa Indonesia” yang hanya mendeskipsikan lembaga-lembaga yang ada dan tidak menyentuh hal-hal pokok yang seharusnya.
Tidak dapat dipungkiri lahirnya UUD ini juga tergantung pada prakondisi yang ada berupa kebutuhan berorganisasi yang tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang berkeinginan berorganiasi sehingga sering kali terjadi stagnasi. Bisa melihat fakta real bahwa regenerasi sering terhambat yang membawa pada deaktivasi organisasi di Kampus Biru UMRAH. Secara politis untuk menciptakan konstitusi yang ideal maka harus memiliki keinginan yang dominan untuk berorganisasi. Selain itu sebagai wujud dari kontrak sosial mahasiswa harus mampu mengakomodir semua kepentingan yang ada. Atas dasar prakondisi ini tentunya kebutuhan untuk adanya konstitusi lebih prioritas dibandingkan dengan substansi itu sendiri.
Namun sebagai insan yang dikatakan idealis, akademisi yang selayaknya kritis ketika pembuat uu di negara kita membuat kontroversi, maka tidaklah relevan menjadikan prakondisi sebagai alasan-alasan adanya kecacatan terkait subtansial. Bagaimana mungkin ketika mahasiswa yang dikatakan sebagai agent of change yang selalu menuntut akan perubahan dan pembenahan kemudian inkonsisten dengan setiap perilaku yang ditunjukkan dengan “buah pemikiran” berupa aturan pokok tersebut. Terlebih jika konstitusi ini disadari pembuatnya mengapa dalam Aturan Peralihan tepatnya Pasal 1 ayat (1) disebutkan UUD KM UMRAH tidak dapat diamandemen hingga dua tahun sejak ditetapkan? Belum lagi jika merujuk pada ketentuan lain yang inkoherensi seakan mengindikasikan konstitusi kita “yang penting ada”. Jangan sampai kita yang selalu mengomentari legislator negara atas aturan yang dibuatnya malah menjadi serupa dalam miniatur negara dan bahayanya jika menjadi legislator masa depan meneruskan kelemahan-kelemahan yang sudah ada.

Dok. Berbagireviews.com

Konstitusi yang Prematur

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya bahwa dalam setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus berlandaskan pada norma hukum yang berlaku, bahkan dalam kehidupan kampus sekalipun. Dengan adanya UUD KM UMRAH menunjukkan bahwa pencetusnya mengamini miniatur negara ini juga berdasarkan pada hukum. Namun sangat disayangkan, orang-orang yang belum matang berkonstitusi melahirkan konstitusi yang tidak matang pula atau prematur. Kiranya pembuat UUD ini lupa bahwa ketika berdasarkan pada konstitusi maka haruslah mendasarkan prinsip konstitusionalisme yakni pemikiran yang menghendaki pembatasan kekuasaan dan jaminan terhadap penegakan dan penghormatan Hak Asasi Manusia. Namun tidak tepat jika dikatakan lupa, tetapi lebih tepat tidak memahahi, sehingga paham itu sendiri dilanggar oleh pembuatnya.
Meminjam pendapat Logemann bahwa negara merupakan organisasi jabatan-jabatan. Barang tentu setiap jabatan memiliki fungsi tertentu pula layaknya Trias Politica yang pada hakikatnya menjamin HAM itu sendiri dengan adanya saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga agar tidak terjadi abuse of power dan absolutisme kekuasaan. Bagaimana mungkin terjadi check and balance sedangkan pemerintahan hanya terdiri dari eksekutif dan legislatif. Lalu siapa yang akan menguji kedua lembaga tersebut berpegang teguh pada konstitusi atau tidak. Maka dapat dipahami konstitusi ini belum selayaknya konstitusi karena tidak akan terjadi pembatasan kekuasaan yang mengarah pada jaminan hak asasi mahasiswa. Pada intinya tidak berpaham pada konstitusi.
Lebih menarik ketika membaca Pasal 8 UUD KM yang menyebutkan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa adalah lembaga tertinggi dalam Keluarga Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji. Menirukan UUD 1945 sebelum amandemen yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi semakin memperkuat bahwa pembuat UUD telah mengangkangi prinsip konstitusi dengan memberikan kewenangan yang tak terbatas. Dilematis ketika mahasiswa hari ini berbicara demokrasi, menolak ototarianisme tetapi menumbuhkan praktik itu dalam dunia akademis.
Di negara manapun majelis permusyawaratan masuk dalam bagian legislatif, namun merujuk pada Pasal 10 UUD KM menempatkan wewenang Majelis Permusyawaratan Mahasiswa KM sebagai lembaga yang sumir, apakah legislatif atau yudikatif atau kedua fungsi itu dipegang oleh satu lembaga. Suatu praktik baru dalam kehidupan bernegara. Berdasar pasal ini wewenang MPM KM tidak hanya mengubah dan menetapkan UUD KM sebagai legislatif tetapi juga menyelesaikan sengketa lembaga yang merupakan ranah yudikatif (vide Pasal 10 ayat (1) dan (3)). Ayat (2) pasal tersebut juga menyebutkan berwenang menetapkan GBHO layaknya GBHN namun tidak dijelaskan bagaimana dan dengan cara apa dilaksanakan. Lebih jelas Inkonsistensi UUD KM dengan membaca ayat (4) pada pasal yang sama. Disebutkan bahwa Presiden Mahasiswa bertanggungjawab kepada MPM KM tetapi dalam praktik Presma dipilih secara langsung oleh mahasiswa melalui Pemilihan Raya yang bahkan telah dibuat legal standingnya. Sudah seharusnya Presma bertanggung jawab langsung kepada mahasiswa bukan kepada MPM KM.
Pasal 14 dan Pasal 15 inkonsisten dengan Pasal 7 UUD KM yang menyebutkan bentuk KM UMRAH adalah federasi. Kiranya tidak memahami bagaimana wujud dari federasi itu sendiri. Diberikannya berbagai hak terhadap salah satu lembaga mahasiswa dalam Pasal 14 dan Pasal 15 yang sejatinya mengarah pada mekanisme impeachment bukanlah praktik dalam negara federasi.
Belum lagi membaca keseluruhan dari UUD ini tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang sirkulasi kekuasaan yang merupakan aturan fundamen dalam suatu konstitusi. Tidak ada mengatur mekanisme pengawasan dan lebih mengedepankan pelaksanaan kekuasaan sedang mekanisme kerja sama sekali tidak dimuat. Nampaknya konstitusi tersebut hanya memperkuat eksistensi dari organ lama tanpa memandang bagaimana organ-organ itu berjalan dalam upaya kemajuan UMRAH ke depan.

Untuk melihat UUD KM UMRAH download di sini

Ditulis kembali oleh Rilo Pambudi. S 
Kajian pernah dipublikasikan melalui media sosial Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP

Sumber: 

  • Kajian Advokesma BEM FISIP UMRAH
  • Pery Rehendra Sucipto, SH., MH dan Yudhanto S.A, M.A dalam Diskusi Publik “Mencari Bentuk Pemerintahan Mahasiswa UMRAH yang Ideal”, Kamis, 8 Maret 2018.
  • Handoyo, B. Hestu Cipto. 2015. Hukum Tata Negara Indonesia : Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar