Telusuri Lainnya

Amandemen Kelima: Kebutuhan akan Utusan Golongan?



Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terjadi pada tahun 1999-2002 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu yang paling mencolok adalah pergeseran paradigma kelembagaan negara yang diatur dalam UUD. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tadinya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Bahkan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki kemudian secara besar hati dilucuti.
Bukan hanya kedudukan, amandemen UUD juga mengakibatkan perubahan pada susunan kelembagaan MPR, yang semula terdiri atas anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan menjadi terdiri atas anggota DPR dan Anggota DPD. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUD bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakian Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Implikasi dari perubahan tersebut adalah hilangnya utusan golongan dalam tubuh MPR.

Keberadaan Utusan Golongan sebagai Ide Briliant
Dasar pemikiran the founding fathers ketika menjadikan utusan golongan sebagai salah satu unsur penting dalam susunan keanggotaan MPR di samping anggota DPR dan utusan daerah merupakan desain yang briliant. Kehendak luhur itu salah satunya keluar dari Mr. Soepomo pada sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 sekaligus menguatkan ide prinsip keterwakilan menyeluruh dari Muhammad Yamin. Beliau menyatakan "Majelis Permusyawaratan Rakyat harus terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan rakyat."
Merujuk pada Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UUD sebelum amandemen, utusan golongan yang dimaksudkan adalah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan lain-lain badan kolektif. Secara eksplisit, perwakilan golongan dimuat dalam Pasal 3 ayat (1) Perpres No. 12 Tahun 1959 tentang Susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang mana terdiri dari 13 golongan karya meliputi golongan tani, buruh, pengusaha nasional, koperasi, angkatan '45, angkatan bersenjata, veteran, alim ulama, pemuda, wanita, seniman, wartawan, dan cendekiawan. Desain tersebut diakui oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia sebagai perwujudan tiga bentuk perwakilan yakni political representation, regional representation, dan fungtional representation.
Praktik pada Orde Baru menjadi awal mula dekonstruksi terhadap konsep mulia yang disampaikan oleh Muh. Yamin dan Mr. Soepomo. Utusan golongan kemudian berubah menjadi dukungan untuk melanggengkan kekuasaan Presiden Soeharto. Hal ini terjadi karena proses pemilihannya melalui pengangkatan oleh presiden, alhasil didominasi oleh Golkar dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Prof. Bagir Manan dalam DPR, DPD, dan MPR dalam Undang-Undang Dasar 1945 Baru mengatakan bahwa cara tersebut mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan presiden sebagai pihak yang menegangkat. Terlebih sistem ketatanegaraan masa itu sangat mendukung terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Keniscayaan Hadirnya Utusan Golongan Pasca Reformasi
Reformasi telah membawa dampak signifikan khususnya dalam penyelenggaraan negara yang mengharuskan pengisian setiap jabatan, baik eksekutif maupun lagislatif mendasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi yaitu pelibatan langsung seluruh rakyat melalui pemilihan umum. Kehadiran utusan golongan juga kian ditentang sebab cara pengisiannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi tersebut. Penolakan bertambah ketika mengulas sejarah bagaimana kemudian utusan golongan dimanfaatkan menjadi basis dukungan bagi rezim yang berkuasa. Ketakukan akan terjadinya kooptasi oleh angkatan bersenjata seperti sebelumnya menjadi alasan klasik yang terus digaungkan. Ada pula yang menegaskan cukuplah dengan DPR dan DPD, karena keduanya telah mengakomodir kepentingan unsur golongan.
Atas alasan terakhir, maka timbul pertanyaan, apakah ada yang memperjuangkan masyarakat hukum adat khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir? Bagaimana keterwakilan guru, petani, atau kaum disabilitas? Bukan maksud untuk anti terhadap hasil amandemen yang dilakukan oleh MPR, tetapi mari membuka ruang dialektika untuk mengkaji ulang, bukan tidak mungkin dikembalikannya utusan golongan sebagai bagian dari MPR adalah kebutuhan masa kini. 
Keniscayaan itu tentu mengandung rasional. Bahkan, Prof. Mahfud MD dalam Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, mengatakan "walaupun amandemen terhadap UUD 1945 yang terjadi pada 1999, 2000, 2001, dan 2002, sudah dilakukan dengan sangat cermat dan hati-hati, tetap saja meninggalkan ketidakpuasan." Dikatakan lebih lanjut terdapat beberapa hal yang tidak diatur dengan baik dalam amandemen tersebut, seperti DPD yang tidak mempunyai fungsi ketatanegaraan yang berarti, sistem parlemen yang tidak tegas, dan sistem presidensial yang bergaya parlementer.

Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Demokrasi
Minus Utusan Golongan sejatinya tidak menjadi persoalan besar manakala political representation (DPR) dan regional represetation (DPD) mampu menjalankan fungsinya dengan baik sebagai wakil rakyat, terutama dalam perwakilan basis. Dalam tulisannya Menghidupkan Utusan Golongan, Syaiful Arif, Peneliti Publica Institut Jakarta, mendefinisikan perwakilan basis merupakan representasi politik berbasis kelompok masyarakat yang memiliki unit produksi, satuan kultural, hingga status golongan tertentu. Dengan demikian, keterwakilan utusan golongan sebagai keterwakilan berbasis kepentingan berbagai golongan kekaryaan yang memiliki aspirasi spesifik.
Faktanya, aspirasi programatik melalui perwakilan fungsional yang dikehedaki itu berbeda dengan perwakilan politik yang berjalan pada masa reformasi ini. Citra Partai Politik lebih mendasarkan pada basis ideologi dan platform politik generalis yang hambar. Padahal, Andrew Refheld dalam The Concept of Constituency, Political Representation, Democratic Legitimacy, and Institutional Design, telah menegaskan bahwa konstituen politik harus diperjelas berdasarkan satuan sosial spesifik, bukan keumuman rakyat tanpa keterwakilan yang jelas. Hakikatnya keterwakilan politik harus bersifat induktif, yakni berangkat dari realitas satuan sosial yang beragam untuk diakomodir dalam program politik yang progresif bukan bersifat deduktif yang berangkat dari jargon-jargon politik berbusa yang kosong program serta pendampingan basis.
Problematika Partai Politik di Indonesia yakni masih mengedepankan target peraupan suara untuk meloloskan diri dari ambang batas parlemen sehingga bisa duduk nyaman di kursi empuk legislatif. Sayangnya hal itu tanpa diikuti oleh prestasi kerja. Begitulah kiranya sifat dasar dari  partai yang oleh Robert Michels dinilai mengidap hukum besi oligharki (the iron law of oligarchy). Dalam hukum besi ini, kompleksitas hierarkis dari organisasi partai memperkuat peraupan suara demi penguasaan kursi negara. Hal senada juga dikatakan oleh Prof. Mahfud MD dalam tulisannya Hukum dalam Politik Oligarkis bahwa konfigurasi politik indonesia saat ini bukanlah demokratis, melainkan oligarkis, yakni suatu konfigurasi politik yang didominasi oleh kelompok elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling memberi keuntungan politik di antara mereka. 
Pada akhirnya, alih-laih menyuarakan dan mewujudkan aspirasi rakyat, partai hanya disibukkan dengan taktik pemenangan pemilu tanpa ketulusan bekerja. Tidak mengherankan kemudian banyak yang mengkhianati rakyat, salah satunya dengan melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan data publikasi Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004-2018, profesi paling tertinggi  yang dijadikan tersangka atas kasus tindak pidana korupsi adalah DPR/DPRD dengan 229 kasus.
Kehadiran Utusan Golongan juga semakin patut dipertimbangkan apabila menilik dari keterwakilan rakyat melalui DPD. Setidaknya ada dua persoalan mendasar yang menguatkan hal itu. Pertama, DPD sebagai kamar kedua dalam sistem parlemen di Indonesia tidak memiliki fungsi yang sama dengan DPR. Fungsi yang diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 praktis menjadikan DPD sebagai subordinasi dari DPR. Secara Rinci kewenangan tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 22 D
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. ***
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. ***
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. ***
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. ***

Prof. Bagir Manan mengatakan "jika dianalisis seakan-akan DPD merupakan suatu lingkungan jabatan yang mandiri dan memiliki wewenang sendiri, namun berdasarkan ketentuan Pasal 22D, pada hakikatnya DPD adalah hanya merupakan badan komplementer DPR meskipun keduanya dipilih melalui pemilu (vide Pasal 22C ayat 1 jo. Pasal 22E ayat 2), tetapi fungsi, kekuasaan, hak, dan kewajiban di antara kedua lembaga ini berbeda."
Pandangan Prof. Bagir tentunya sudah menjadi pengetahuan umum, jika kita membaca Pasal 22D. Di mana DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pengaturan demikian menandakan senyatanya DPD memiliki belum memiliki Original Power dalam fungsi legislatif, sebab terbatas pada mengajukan dan membahas tanpa ikut serta menyetujui RUU menjadi UU.
Dalam fungsi pengawasan juga sangat terbatas, bahkan tidak memiliki konsekuensi. Ditentukan bahwa DPD menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Terhadap frasa "sebagai bahan pertimbangan", Prof. Kaelan dalam bukunya Inkonsistensi dan Inkoherensi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen memberikan pemahaman bahwa pengawasan yang dilakukan oleh DPD tidak memiliki daya imperatif hukum maupun politik, sehingga jikalau hasil pengawasan itu tidak digunakan atau diperhatikan maka tidak memiliki konsekuensi yuridis maupun politis.
Prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD yang menentukan "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar", menjadi ambigu. Konstruksi awal keberadaan DPR dan DPD sebagai wakil rakyat dalam penyelenggaraan negara di tingkat pusat, dalam realisasinya tidak konsisten. Sebab kedaulatan pada akhirnya tidak terbagi secara merata dan menyeluruh hanya terhenti pada presiden dan DPR, sedangkan DPD diposisikan berada di bawah keduanya.
Alasan Kedua, keterwakilan dua lembaga di tubuh MPR hari ini semakin semu. Mengapa demikian? Pasalnya saat ini DPD tidak lagi murni perwakilan daerah. Berdasarkan data dari Indonesia Parliamentary Center, pada 2017 setidaknya terdapat 78 anggota DPD yang berasal dari partai politik. Hal ini nampaknya akan tetap terjadi, karena pada Pemilu 2019 ini masih banyak caleg DPD yang berasal dari Partai Politik, sebut saja yang populer Oesman Sapta Odang padahal dirinya adalah Ketua Umum Partai Hanura. Masuknya anggota parpol dalam DPD telah melunturkan hakikat double check dalam sistem parlemen Indonesia. Padahal berdasarkan original intent Pasal 22E telah menempatkan keduanya pada tupoksi yang berbeda, di mana DPD memperjuangkan kepentingan daerah melalui jalur perseorangan bukan partai.
Kooptasi oleh parpol terhadap DPD menyebabkan terjadinya double representation, artinya ada dua lembaga yang diisi oleh satu basis. Tidak jelasnya sistem pemisahan  dalam pengisian keanggotaan tersebut akan berimplikasi pada conflict of interest. Maka dalam hal ini rakyat lah yang dirugikan sebagai konstituen.
Dengan demikian, hadirnya utusan golongan akan membawa manfaat, diantaranya: Pertama menutupi kekurangan dari partai politik yang faktanya belum mampu menjadi partai pekerja dan partai pendamping. Kedua, terakomodirnya berbagai elemen masyarakat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan prinsip awal susunan MPR yakni keterwakilan holistik sebagai cermin kedaulatan rakyat itu sendiri. Ketiga, menjadi alternatif terhadap buntunya kehendak untuk menguatkan kewenangan DPD yang hingga kini masih menjadi pro-kontra tanpa titik temu. Keempat, menjadi penutup jurang keterwakilan yang digali oleh partai dengan representasi yang memang berbasis satuan sosial rakyat, sekaligus untuk mengimbangi dominasi parpol yang masa kini terus berupaya memperluas jangkauan dengan masuk ke DPD.

Menjawab Kegelisaan Akibat Bayang-Bayang Masa Lampau
Tentunya menghadirkan kembali utusan golongan bukan serta-merta tanpa perbaikan. Sudah semestinya kegelisahan akibat praktik masa lampau dijawab dengan merekonstruksi mekanisme pemilihan perwakilan golongan sesuai dengan semangat demokratisasi berdasarkan kedaulatan rakyat. Selain itu, praktik pada Orde Baru sejatinya tidaklah lantas menjustifikasikan bahwa ketika dikembalikannya utusan golongan akan mengulang praktik tersebut.
Penyalahgunaan kekuasaan pada rezim Soeharto sejatinya terdapat campur tangan sistem yang melandasi, baik sistem pemerintahan, pengisian jabatan, maupun sistem perpolitikan yang belum mapan. 
Lalu, terhadap ketakutan akan upaya melegitimasi ulang ABRI (sekarang TNI-POLRI) untuk menjalankan politik praktis yang menyebabkan dwi-fungsi sejatinya telah terjawab melalui pembatasan yang diatur dalam UU. 
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia menyebutkan Prajurit dilarang terlibat dalam: (1) kegiatan menjadi anggota partai politik; (2) kegiatan politik praktis; (3) kegiatan bisnis; dan (4) kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.
Hal serupa juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 28 menyebutkan:

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. 
(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.
(3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. 

Mendasarkan pada uraian di atas, bukan suatu falcy of logic ketika nantinya kita mendorong amandemen kelima segera dilakukan yang pada salah satu substansi bahasan adalah mengembalikan unsur golongan dalam susunan keanggotaan MPR sesuai pemikiran para pendiri bangsa masa itu. Kendati demikian, tetap dibutuhkan penerapan asas kehati-hatian dan kecermatan dalam merumuskan ulang jenis-jenis golongan yang akan mewakili golongan kekaryaan tersebut dalam regulasi yang ketat sehingga tidak terjebak pada politisasi utusan golongan selayaknya yang pernah terjadi di masa lampau.

Sumber:

  • Anonim. "Anggota DPR/DPRD Paling Banyak Terjerat Kasus Korupsi". Dipublikasikan melalui databoks.katadata.go.id tertanggal 05 Desember 2018.
  • Bagir Manan. 2005. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH UII Press.
  • Jimly Asshiddiqie. 2009. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Kaelan. 2017. Inkonsistensi dan Inkoherensi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Badan Pengkajian MPR RI bekerjasama dengan Paradigma.
  • Moh. Mahfud MD. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press.
  • ______________. 05 Mei 2006. "Hukum dalam Politik Oligarkis". Diterbitkan melalui Jawapos.com.
  • Murdiyati Rahmatunnisa. "Menyoal Keberadaan Utusan Golongan dalam MPR". Dipublikasikan melalui Academia.edu.
  • Syaiful Arif. 02 Oktober 2016. "Menghidupkan Utusan Golongan". Diterbitkan melalui Publicapos.com.
  • Sutan Sorik. "Pengurus Parpol Dilarang Jadi Anggota DPD: Kepentingan Politik Praktis atau Amanah Konstitusi?". Dipublikasikan melalui situs www.politik.lipi.go.id tertanggal 20 September 2018. 

Dasar Hukum:


Penulis adalah Rilo Pambudi. S, Ketua UKM Research and Debate Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar