Merdeka.com |
Sebelum membahas mengenai pemidanaan yang terdapat dalam perundang-undangan pidana, maka perlu membahas terlebih dahulu hakikat dari pidana itu sendiri. Istilah “pidana” dan “hukuman”, semula dipakai berganti-ganti sebagai kata yang sinonim, dan kedua istilah itu sama dalam arti sebagai suatu sanksi atau ganjaran yang bersifat negatif. Akan tetapi kedua istilah ini sebenarnya dapat dibedakan. Istilah “hukuman” merupakan istilah yang umum dan konvensional, mengandung arti yang luas dan dan dapat berubah-ubah. Istilah tersebut tidak saja digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan lain-lain. Sedangkan istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam bidang hukum pidana. Soejono, menegaskan bahwa, “hukuman merupakan sanksi atas pelanggaran suatu ketentuan hukum. Sedangkan pidana lebih memperjelas pada sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran hukum pidana.
Moeljatno membedakan istilah “pidana” dan “hukuman”. Beliau tidak setuju terhadap istilah-istilah konvensional yang menentukan bahwa istilah “hukuman” berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” berasal dari perkataan “wordt gestraft”. Beliau menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana” untuk kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk kata “word gestraft”. Hal ini disebabkan apabila kata “straf” diartikan “hukuman”, maka kata “straf recht” berarti “hukum-hukuman”. Menurut Moeljatno, “dihukum” berarti diterapi hukum, baik hukum perdata maupun hukum pidana. “Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang mempunyai arti lebih luas, sebab dalam hal ini tercakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.
Hal di atas juga selaras dengan yang dikemukakan oleh Sudarto, bahwa “penghukuman” berasal dari kata “hukum” atau “memutuskan tentang hukumnya” (berechten). “Menetapkan hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Selanjutnya juga dikemukakan oleh beliau, bahwa istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan “pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Menurut beliau “penghukuman” dalam arti yang demikian mempunyai makna sama dengan “sentence” atau “veroordeling”.
Hukumonline.com |
Akhirnya dikemukakan Barda Nawawi Arief, bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti perkataan “straf”, namun menurut beliau, istilah “pidana” lebih baik daripada hukuman. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata “hukuman” sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata “pidana”, sebab ada istilah “hukum pidana” disamping “hukum perdata” seperti ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang. Dalam kesempatan yang lain, Sudarto berpendapat bahwa istilah dan makna pidana tidak dapat dipisahlepaskan dengan hukum pidana, karena pidana adalah bagian/komponen penting dari hukum pidana.
Sistem hukum di Indonesia, pidana dan perbuatan-perbuatan yang diancam pidana harus lebih dahulu tercantum dalam undang-undang pidana. Hal ini sesuai dengan asas yang disebut dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam hal ini terdapat perbedaan istilah hukuman dan pidana. Suatu pidana harus berdasarkan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya, karena dalam pengertian hukuman, di dalamnya termasuk keseluruhan norma, baik norma kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan kebiasaan. Walaupun demikian, kedua istilah tersebut tetap mempunyai persamaan, yaitu sama-sama berlatar belakang pada tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dan seterusnya. Dengan demikian, seseorang yang dijatuhi pidana atau terpidana adalah orang yang bersalah atau melanggar suatu peraturan hukum pidana. Akan tetapi, seseorang juga mungkin dihukum karena melanggar suatu ketentuan yang bukan hukum pidana.
Baca Juga: Apa Itu Justice Collaborator
Baca Juga: Apa Itu Justice Collaborator
Berkaitan dengan siapakah yang berhak menjatuhkan pidana, pada umumnya para sarjana hukum telah sependapat bahwa negara atau pemerintahlah yang berhak untuk memidana atau memegang jus puniendiitu. Tetapi yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah apa yang menjadi alasan sehingga negara atau pemerintah yang berhak untuk memidana. Menurut Beysens, negara atau pemerintah berhak memidana karena:
- Sudah menjadi kodrat alam, negara itu bertujuan dan berkewajiban mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara. Di sinilah ternyata bahwa pemerintah itu benar-benar berfungsi atau benar-benar memerintah. Berdasarkan atas hakekat bahwa manusia secara alamiah, maka pemerintah berhak untuk membalas pelanggaran tersebut, dengan jalan menjatuhkan sanksi yang bersifat pembalasan itu.
- Pidana yang dijatuhkan itu bersifat pembalasan kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan itu tidak boleh bersifat balas dendam, tetapi bersifat obyektif dengan cara memberikan kerugian kepada seseorang karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya dengan sukarela dan dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Dari berbagai pengertian pidana tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
- Penggunaan atau pemberian penderitaan atau norma yang tidak enak dirasakan atau yang tidak menyenangkan.
- Diberikan dengan sengaja oleh penguasa atau instansi yang berkuasa.
- Dibebankan atau dilimpahkan kepada seseorang yang dipersalahkan melakukan tindak pidana menurut ketentuan undang-undang.
Oleh: Rilo Pambudi. S, Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji
Referensi:
- Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Education dan PuKAP Indonesia.
- Eddy O. S. Hiariej. 2015. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar